Bisakah seorang cendekiawan percaya bahwa Yesus bangkit dari kematian?

Bisakah seorang cendekiawan percaya bahwa Yesus bangkit dari kematian?

Agama Kristen membuat pernyataan yang menakjubkan. Setiap hari Minggu, banyak orang Kristen yang mengucapkan kata-kata ini: ‘Pada hari ketiga Ia bangkit dari antara orang mati.’ Namun apakah itu benar? Apa bisa kita menganggapnya serius di abad kedua puluh satu ini? Bisakah seorang ilmuwan mempercayai kebangkitan Kristus dari mati?

Ini merupakan pertanyaan penting, karena jika hal ini benar, hal ini akan mempengaruhi keseluruhan pendekatan kita terhadap kehidupan, kematian, dan harapan akan kehidupan setelah kematian.

Pertama, izinkan saya menyingkirkan gagasan populer bahwa sains atau ilmu pengetahuan pada prinsipnya mengesampingkan kemungkinan kebangkitan Kristus. Tidak, sains hanya memberi tahu kita apa yang biasanya terjadi. Para ilmuwan mengamati proses alam dan menyimpulkan hukum-hukum umum dari pengamatan dan eksperimen mereka. Ilmu pengetahuan tidak bisa mengecualikan peristiwa yang terjadi sekali saja atau peristiwa-peristiwa yang sangat luar biasa, yang merupakan mukjizat, dan kebangkitan dari mati adalah contoh tertingginya. Memang benar, sikap ilmiah yang sebenarnya adalah berpikiran terbuka, dan bertanya, “Apa buktinya?”

Bukti kebangkitan terutama berasal dari empat kitab Injil dan surat Paulus dalam Perjanjian Baru. Para ahli umumnya sepakat bahwa Injil ditulis antara tahun 60an dan 90an Masehi, dan melaporkan kesaksian saksi mata dan tradisi tentang Yesus yang beredar jauh lebih awal. Yesus kemungkinan besar disalibkan pada bulan April 33 Masehi, kurang lebih 27 tahun. Jadi jarak antara peristiwa-peristiwa tersebut dan penulisannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan jarak yang dimiliki seorang prajurit tua yang di tahun 2020 ini melaporkan pengalamannya dalam Perang Dunia Kedua.

Ada dua aspek dari bukti Injil:
(i) kubur Yesus kosong pada Hari Paskah pertama; dan
(ii) Yesus menampakkan diri dalam keadaan hidup kepada banyak orang setelah kematiannya.
Ada beberapa perbedaan pendapat dalam detail-detail kecil di antara kitab-kitab Injil. Namun, jika semua saksi dalam kasus pengadilan sepakat dalam setiap detailnya, malah jadi mencurigakan bahwa adanya konspirasi; maka ketidaksepakatan dalam Injil ini menunjukkan bahwa mereka adalah laporan independen yang berasal dari sumber berbeda dan bukan karangan para konspirator.

Bukti terbaik berasal dari surat Paulus yang pertama kepada umat Kristen di 1 Korintus pasal 15, yang ditulis sekitar tahun 55 M.
Di sini Paulus memberikan daftar saksi kebangkitan Yesus, termasuk, yang terakhir, dirinya sendiri.

Beberapa poin penting muncul dari bukti di 1 Korintus:

  1. Saksi pertama adalah perempuan. Sayangnya, perempuan pada saat itu dianggap tidak dapat diandalkan dan tidak diizinkan untuk bersaksi di pengadilan. Oleh karena itu, Anda tidak akan mengarang cerita dengan wanita sebagai saksi pertama Anda.
  2. Kedua belas murid Yesus, selain Yudas, menjadi saksi, begitu pula Matias yang menggantikan Yudas (Iskariot) , Yusuf yang tadinya bersaing dengan Matias untuk menggantikan Yudas, dan saudara Yesus sendiri: Yakobus.
  3. Paulus menceritakan penampakan Yesus kepada 500 orang sekaligus, yang sebagian besar masih hidup untuk memberikan kesaksian ketika ia menulis surat ini, hanya 22 tahun kemudian.
  4. Akhirnya, Paulus sendiri bertemu Kristus di jalan Damaskus. Hal ini mengubah dirinya sepenuhnya, dari musuh dan pembantai utama para pengikut Kristus, menjadi murid yang paling bersemangat memberitakan kabar keselamatan.

Memperkenalkan daftar penampakan kebangkitannya, Paulus berkata, ‘Yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, yaitu bahwa Kristus … telah dibangkitkan pada hari yang ketiga.’ Kapan Paulus menerima informasi ini? Paulus berada di Yerusalem tiga tahun setelah pengalaman pertobatannya, dan bertemu Petrus dan Yakobus di sana. Mengingat bahwa pertobatannya terjadi paling lama tiga tahun setelah kematian Kristus, ia pasti menerima informasi dari Petrus dan Yakobus tidak lebih dari enam tahun setelah peristiwa tersebut.

Penjelasan alternatif atas bukti-bukti tersebut sebagian besar melibatkan konspirasi, seperti para murid mencuri jenazah. Memang, itulah teori pertama pada saat itu, yang sengaja disebarkan oleh otoritas Yahudi. Ini menyiratkan bahwa para murid telah berkolusi dalam kebohongan.

Banyak orang tewas karena kepercayaan mereka akan kebangkitan Kristus. Tapi, meskipun ada orang yang mati karena kepercayaan yang salah, tidak ada seorang pun yang mati karena sesuatu yang diketahuinya salah, seperti yang akan terjadi pada para murid jika mereka yang mengarang cerita tersebut. Apalagi, pasti ada yang pecah barisan dan menjerit kalau bersekongkol menyebarkan kebohongan.

Para ilmuwan meyakini teori mereka berdasarkan bukti. Ada banyak bukti mengenai kebangkitan Yesus. Banyak ilmuwan yang menutup pikiran terhadap bukti-bukti tersebut, bukti sejarah berupa kesaksian para saksi. Mereka beranggapan bahwa alam semesta adalah sistem tertutup yang hanya menjalankan hukum fisika yang kaku dan pada prinsipnya keajaiban tidak mungkin terjadi. Namun jika kita tidak menutup diri terlebih dahulu apa yang kita pikir bisa terjadi, jika kita memiliki pikiran terbuka untuk melihat bukti-bukti secara rinci, jika kita siap untuk terkejut, maka sangat mungkin bagi seorang ilmuwan untuk percaya pada kebangkitan. . Saya kenal banyak orang yang melakukan hal tersebut, beberapa diantaranya adalah ilmuwan kita yang paling terkemuka. Memang benar, memiliki pikiran terbuka untuk mengikuti bukti yang ada merupakan sikap yang jauh lebih ilmiah daripada memutuskan terlebih dahulu apa yang menurut Anda bisa atau tidak bisa terjadi.

Oleh Revd Dr Rodney Holder. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Soli-Deo Indonesian Church.
Pending permission, March 31, 2024
Original artikel di Faraday Institute. Pertama di publish April 9. 2020.
Can a scientist believe that Jesus rose from the dead? | Faraday (cam.ac.uk)